Ada apa dengan memperlakukan orang lain dengan baik?

Jakarta, 18 juli 2016

Oleh-oleh setelah libur lebaran yang panjang ternyata tidak hanya lemak yang menumpuk di perut tetapi juga beragam kisah yang sebenarnya enggan untuk menulisnya. Tapi apalah daya kalau tidak ditulis rasanya gatal, pengin nonjok orang, eh.

Maafkanlah karena mengawali tulisan ini dengan emosi yang rasanya memang negatif. Tapi merujuk pada emosi dan pengendalian diri, aku selalu ingat betul kata aa gym (kalo tidak salah yaa), bahwa manusia akan diuji dengan satu hal saja, yaitu kelemahannya. Hal ini berarti orang-orang yang kelemahanya adalah mencintai seseorang dengan berlebihan, misal anaknya, mungkin ujianya akan berupa kehilangan anak. Atau mereka yang mencintai dunia secara berlebian, mungkin akan diuji dengan kemiskinan (walaupun sebagian orang merasa kemiskinan bukanlah ujian) atau mungkin kekayaan (terlalu kaya malah membuatnya terperosok dalam dosa). Sedangkan aku, yang dibesarkan dalam lingkungan penuh dengan teriakan, dan emosi yang meluap-luap, rasanya selalu diuji dengan kesabaran (tapi ini rasanya lhoo ya). Kenapa aku merasa ini adalah ujianku? Karena sampai saat ini aku belum lulus juga dari ujian kesabaran ini.

Mungkin sederhana saja bagi orang yang memang terlahir sabar, tapi bagiku, menjadi sabar seperti mencari jarum dalam jerami (syuusaaaaah), dan ujian kesabran itu berbentuk perlakuan orang lain kepadaku.

Aku ingin membagikan pengalaman tentang perlakuan buruk orang lain kepadaku. Mungkin kamu punya pengalaman yang lebih buruk sehingga pengalamanku ini tidak ada apa-apanya? Berarti anda sabar.

Jakarta konon kota yang kejam. Udaranya yang panas membuat orang-orangnya kasar dan keras. Semua serba main serobot, semua serba emosi dan tidak sabar. Aku akui kadang semua itu benar, apalagi bagi anda orang yang baper. Waktu pertama kali datang ke jakarta, yang aku harapkan adalah sambutan ramah dari orang-orang sini. Kenapa aku bisa berharap sedemikian besar? Karena orang-orang yang akan aku temui konon adalah muslimah yang baik-baik, dengan lingkungan islami, dan lulusan dari perguruan tinggi negri ternama di indonesia. Wah berarti sopan dan terdidik. Sebagian besar harapanku terkabul, tapi ada saja orang yang membuatku heran. Pertama kali datang orang itu sudah tidak ramah, dia sibuk dengan dunia sendiri. Tapi aku tidak masalah dengan hal itu, semua orang punya dunia sendiri. Yang paling aneh setelah beberapa lama aku di tempat ini dia sama sekali tidak menegurku atau jangan harap deh ditawarin minum. Lama-lama dengan tingkat kehausan yang semakin meningkat aku mencoba bertanya ke penghuni kosan yang lain. Dengan berpikiran bahwa aku juga membayar kosan ini, maka aku juga berhak akan minum. Sudah bukan tamu lagi.

Alhamdulillah penghuni lain itu baik dan mengatakan bahwa air galon yang ada di dispenser habis, jadi harus mengganti. Dan gantinya persis ada disampingnya. Tapi posisi dispenser ada di atas meja yang berarti harus mengangkat galon sangat tinggi. Untuk memastikan dan berbasa-basi ria, aku bertanya ke penghuni yang sok sibuk itu, “mba itu air galonnya habis kan?”. Dia sambil lalu menjawab “iya habis, kalau mau minum angkat aja ke dispenser sendiri.” Waalaah jleb dah, langsung baper jadinya. Aku kan penghuni baru yang benar-benar baru dateng dari bekasi, dengan posisi sangat haus, udah lama disitu, sampe inisiatif nanya air sendiri, malah disuruh ngangkat sendiri. Sableng kali tu orang. Semenjak itu, dia juga memang rada aneh, kalau ngomong berempat (sama aku) dia hanya akan ngajak ngobrol bertiga (tanpa aku). Aku itu angin lalu. Nawarin makanan Cuma bertiga. Menjadi satu-satunya orang yang tidak ditawarin makanan diantara semua orang itu hal yang sangat aneh, serasa dengar suara jangkrik. Tanpa menyebutkan almamater, dia itu hafidzah alquran, dengan lulusan universitas terkenal, pintar, dan ambisius. Sampai saat terakhir dia di kosan ini (akhirnya dia pergi), aku dan dia tidak pernah saling sapa. Aku memutuskan untuk tidak mengemis-ngemis ingin dekat dengan dia, dia juga mulai merasa kalau aku tidak pernah menganggap dia ada, seperti dia yang tidak pernah menganggap aku ada. Fix. Ketika semua orang mengaguminya, entah kenapa, aku tidak terpikir untuk berteman. Hanya menghargai sebagai sesama muslimah saja. Ketika semua orang mengatakan si A itu baik, tetapi si A tidak baik padamu, maka saat itulah aku mulai pusing. Something wrong with me? Or her?

Pengalaman selanjutnya ada di terminal Bekasi, sudah yang ke dua kalinya. Saat pertama adalah bulan Desember kemarin ketika mau mudik. Tak di sangka tak dinyana ternyata banyak sekali orang yang mau mudik, dan bis di tempat biasa habis. Maka aku memutuskan, dengan ditemani si dia untuk ke terminal Bekasi, siapa tau masih ada. Itu adalah tempat pertama yang kami tuju. Setelah mencari, kami menuju ke sebuah kios. Aku berdiri di luar kios dan si dia yang bertanya ke orang yang ada di dalam sana. Ada bapak-bapak umur sekitar 50 yang sedang melayani orang lain juga. Dari luar aku mendengar si dia bertanya, “pak, bis jurusan jawa masih ada?” dia menjawab, “masih, ini harganya 250 (kalo ga salah dulu).” Alhamdulillah aku senang mendengarnya walaupun tidak menyangka akan semahal itu. Di langganan bis biasanya paling hanya 150. Dan saat itu uangku tidak cukup. Rencananya aku mau pinjam uang si dia dulu kalau tidak cukup. Si dia menghampiriku dan bertanya, “Gimana mau ga?, aku jawab, “iya gapapa, tanya dulu tempat duduknya dimana.” Si dia langsung menemui si bapak itu, aku membuntut di belakangnya. Aku melihat ada beberapa kursi yang kosong tapi posisinya di belakang banget. Setelah melihat itu, aku menarik tangan si dia dan ngobrol sebentar, “Gimana nih harganya mahal banget, udah gitu duduknya di belakang.” Entah kenapa setelah ngomong itu, padahal si dia belum jawab pertanyaanku, mungkin bapak itu dengar lalu teriak dari dalam, “Udah ga ada bisnya, abis, g ada”. Aku dan si dia saling tatap, laaah tadi ada aku lihat sendiri ko malah bilang ga ada. Bapak itu teriak-teriak ga jelas. Setelah itu aku sendiri memutuskan untuk memakai trafel saja. Ternyata 200ribu sudah dapat mobil yang bagus waktu itu. Alhamdulillah.

Pengalaman terbaru ini ya pas lebaran kemarin. Rencananya aku dari bekasi mau ke jakarta jurusan tanah abang. Iseng-iseng aku dan si dia lagi mau nyobain naik bis saja. Soalnya kami mikirnya naik kereta bakal ngantri lama dan tidak dapat tempat duduk. Setelah sampai di terminal kami mencari bis tanah abang. Celingak celinguk kesana-kemari ternyata tidak ada. Waduh jangan-jangan tidak ada bisnya lagi. Ditambah lagi barang bawaan kami banyak sekali (khas mudik). Si dia memutuskan untuk bertanya ke tukang konter. Tukang itu berkata, “wah kalau bis tanah abang tidak di sini tapi di pertigaan jalan depan sana.” Wadduh aku dan si dia kaget, itu kan jalan yang kami masuk tadi. Ibarat dari depan terminal ke bagian paling belakang buat keluar bis, malah disuruh ke depan lagi. Akhirnya kami ngikutin dan muter, sampai ke seberang terminal. Disana ada ibu-ibu penjual rokok yang kami tanya juga. Ibu itu berkata, “bukan disini de, tapi di tempat sana keluar bis, tidak lewat sini”. Alamaaaak, tempat yang jual konter tadi? Berarti dari tadi kita dibohongin sama tukang konter tadi. Maka dengan hati dongkol dan tangan gemeteran karena bawaanya banyak, kami muter balik masuk ke terminal tempat keluar bis yang kami tinggalkan tadi.

Pas dijalan menuju tempat itu kami sempat ditanya sama tukang ojek di jalan, “mau kemana de?” aku malas menjawabnya, jadi si doi yang lebih sabar yang jawab. “ mau ke tanah abang pak, ini bis yang ke tanah abang masih lama ga yah pak? Si bapak-bapak itu menjawab, “wah kalau di terminal sini jarang, yang banyak itu di bulak kapal.” Aku diam saja. Orang itu terus-terusan mengulang perkataan yang sama “di bulak kapal, di bulak kapal”.  Mungkin karena aku tidak mendengarkan. Aku berpikir kenapa orang itu malah mengalihkan kami. Udah cape-cape ke terminal malah disuruh ke bulak kapal. Mungkin  dia ingin kami naik ojek dia. Ternyata benar kan, karena kami diam saja, setelah itu dia dan temanya malah menghentikan angkot dan setengah memaksa kami untuk naik. “Ini ke bulak kapal.” Wah ini orang sudah mulai maksa nih. Aku ajak saja si dia kabur. Setelah kami memutuskan untuk kabur, beberapa langkah saja orang-orang itu sudah teriak-teriak seperti menyumpahi kami dengan sumpah serapah. “Gimana sih, dikasih tau ga mau. Ini ke bulak kapal.” Oh God, kenapa dengan orang-orang ini. Kamipun menunggu di pintu keluar bis yang sebelumnya.

Setelah berdiri lama, aku lihat beberapa orang beli gorengan dan ngobrol dengan tukang gorengan tersebut, jadi aku tertarik buat nanya bis ke tukan gorengan itu. Aku beli saja gorengan tanpa bilang ke si doi. Aku berjalan sendiri dan bilang, “Bang berapaan gorengannya?” dia bilang dengan pelan kalau 5ribu dapat 6. Karena aku tidak dengar, terus aku ulangi lagi. Eh dia malah menjawab dengan nada ketus. Aku diambilkan kertas dan disuruh milih,”Milih aja dulu.” Pas mau milih, baru mau ambil kertasnya, aku sambil nanya, “Kalau bis ke tanah abang masih lama ga yah bang?” dia malah marah-marah, “Udah milih aja dulu.” Aku pikir orang ini tidak dengar atau salah mengerti, “Bukan bang, bis ke tanah abang masih lama ga?” dia malah tambah tinggi nadanya, “udah milih aja dulu.” Aku heran, apa salahnya jawab sambil aku milih. Aku mulai kesal juga dan jawab si abang itu, “Yaela bang saya nanya doang.” Dia malah nambah keras juga, “Iya milih dulu nanti juga dikasih tau.” Buseet dah ni orang. Kalau lagi sibuk mah oke lah ga bisa jawab, tapi ini pembelinya aku doang lho. Karena semakin emosi, aku bilang, “Yaudh lah bang ga jadi nanya. Nih gorenganya 6.” Ternyata jawaban yang dari tadi aku tunggu-tunggu dengan berdebat gorengan 5ribu sangat mencengangkan. Si abang bilang, “nanti juga ada”. Gubraaaak, lu ngotot kirain tau bisnya kapan datengnya, malah jawabanya cuma kaya gitu. Kami langsung kabur tanpa ampun dari terminal menyebalkan itu. Si doi juga udah mulai kesel ternyata, dan kami langsung pergi ke stasiun. Alhamdulillah tidak ada antrian di tempat tiket dan kami mendapatkan tempat duduk juga.

Tau gitu mending dari tadi ke stasiun aja. Tapi aku jadi dapat kata bijak dari si doi. “Ya kalau ga kaya gini ga akan dapat pelajaran kan. Jadi tahu kalau orang-orang terminal itu ternyata bar-bar kelewatan”. Iyaa deh.

Sampai di tanah abang sudah malam dan hujan gede. Jadi aku pulang sendirian. Si doi langsung ke Bekasi lagi. Iseng-iseng di jalan pulang, di gang kosan mau beli ayam goreng. Ternyata disitu juga mendapat perlakuan yang tidak enak. Penjualnya asem banget mukanya. Biasanya dilayanin sama si ibunya, eh si bapaknya lebih jutek ternyata. Dan harganya lebih mahal, dan tidak sesuai pesanan. Maka fix tidak akan beli disitu lagi.

Pengalaman yang paling anget adalah tadiii bangeet. Pas beli bakso di tempat terkenal. Rameee banget. Tadinya Cuma ada satu terus aku dateng, aku udh bilang dari awal “bang beli bakso urat.” Eh dia tuh sengaja banget ga dengerin. Mentang-mentang belinya Cuma satu. Tapi abis itu ada yang beli banyak dilayanin, nah aku dikacangin. Udah dah baper. Langsung kabur juga. Aku yang udah disitu lama, dan ngomong pesen berkali-kali tapi ga didengerin. Gondok rasanya, tapi belajar sabar. Ternyata malam itu rejekinya tukang sosis. Akhirnya makan malam pake sosis.

Kumpliiit dah pengalaman dua hari. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari hal-hal yang kurang menyenangkan. Tapi satu hal yang aku pertanyakan dan temukan sendiri jawabanya.

Apa salahnya bersikap baik dengan orang lain? Aku yang notabene orang umum, lebih memilih makan di tempat sederhana dengan pelayanan ramah, meskipun makananya biasa saja. Menyengkan bisa mendapatkan perlakuan baik dari orang lain. Membahagiakan orang lain kan? Mungkin orang-orang saat ini sudah sulit berbaik hati dengan orang lain. Mungkin saja. Ternyata ujian sabar kali inipun belum lulus. semoga selalu diberikan kesabaran dan kesadaran.